Kenaikan BBM, Siapa yang Tertawa?

By firman
4 Menit

Harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di Indonesia mengalami kenaikan pada awal Maret 2024. PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha milik negara yang menguasai sebagian besar pasokan BBM di Tanah Air, tetap mempertahankan harga BBM subsidi dan penugasan, yaitu Pertalite dan Solar. Namun, di luar itu, harga BBM di SPBU Shell, Vivo, dan BP naik cukup signifikan, mencapai lebih dari Rp 1.000 per liter.

Kenaikan harga BBM ini dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah dunia, yang sudah mencapai 82 dolar AS per barel. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, biaya produksi BBM juga pasti naik seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. Ia menegaskan, pemerintah akan tetap menahan harga BBM subsidi, yang dinikmati oleh masyarakat miskin dan golongan menengah ke bawah.

Namun, siapa sebenarnya yang menikmati subsidi BBM ini? Apakah benar hanya masyarakat miskin dan menengah ke bawah? Ataukah ada pihak lain yang ikut tertawa di balik kenaikan harga BBM nonsubsidi ini?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi BBM di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 76,8 juta kiloliter, naik 3,6 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, BBM bersubsidi hanya menyumbang 18,9 persen, sedangkan BBM nonsubsidi menyumbang 81,1 persen.

Dari data tersebut, terlihat bahwa konsumsi BBM nonsubsidi jauh lebih besar daripada BBM subsidi. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan BBM nonsubsidi, yang harganya lebih mahal dan lebih berkualitas. Sebaliknya, hanya sebagian kecil masyarakat yang menggunakan BBM subsidi, yang harganya lebih murah tapi kualitasnya lebih rendah.

Lalu, mengapa pemerintah masih memberikan subsidi BBM, jika hanya sedikit yang menggunakannya? Apakah subsidi BBM ini efektif dan efisien dalam membantu masyarakat miskin dan menengah ke bawah?

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, subsidi BBM tidak tepat sasaran dan cenderung menguntungkan kelompok masyarakat yang lebih kaya. Hal ini karena subsidi BBM tidak didasarkan pada kriteria kemiskinan, melainkan pada jenis BBM yang dikonsumsi.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 40 persen subsidi BBM dinikmati oleh 10 persen masyarakat terkaya, sedangkan hanya 10 persen subsidi BBM yang dinikmati oleh 40 persen masyarakat terbawah. Selain itu, subsidi BBM juga menyebabkan distorsi harga, inefisiensi alokasi sumber daya, dan kerugian fiskal bagi negara.

Oleh karena itu, peneliti LPEM FEB UI menyarankan agar pemerintah menghapus subsidi BBM dan mengalihkannya ke program bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dengan begitu, pemerintah bisa menghemat anggaran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun, apakah pemerintah berani mengambil langkah radikal ini? Apakah pemerintah siap menghadapi kemungkinan protes dan gejolak sosial akibat penghapusan subsidi BBM? Apakah pemerintah mampu menjalankan program bantuan sosial yang lebih baik dan transparan?

Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung di udara, sementara harga BBM nonsubsidi terus merangkak naik. Siapa yang tertawa? Siapa yang menangis? Siapa yang peduli?

Share This Article