Latar belakang dan kehidupan
Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M di Turkistan atau Farab, Transoxiana, dari orang tua yang berdarah Turkik atau Persia Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Awzalagh al-Farabi, tetapi ia lebih dikenal dengan nama singkat Abu Nasr al-Farabi atau hanya Al-Farabi. Dalam bahasa Latin, ia disebut Alpharabius atau Avennasar.
Al-Farabi menempuh pendidikan di Bukhara, Samarkand, Merv, dan Balkh, sebelum akhirnya tiba di Baghdad pada usia lebih dari 40 tahun. Di ibu kota Dinasti Abbasiyah, ia belajar ilmu logika, filsafat, dan astronomi dari para guru seperti Yuhanna bin Haylan, Abu Bishr Matta bin Yunus, dan Ibn al-Sarraj. Ia juga menguasai berbagai bahasa seperti Arab, Persia, Suryani, Yunani, dan Turkik.
Pada tahun 942 M, ia pindah ke Aleppo dan diterima oleh penguasa Hamdanid, Sayf al-Dawlah, yang merupakan seorang pecinta ilmu pengetahuan dan sastra. Ia tidak tinggal lama di sana, karena pada akhir hayatnya ia menetap di Damaskus hingga wafat pada bulan Rajab 339 H (Desember 950 M atau Januari 951 M).
Pemikiran dan karya
Al-Farabi adalah tokoh dalam bidang filsafat yang sering disebut sebagai “Guru Kedua”, mengikuti Aristoteles yang dikenal sebagai “Guru Pertama”. Ia berperan menerjemahkan teks-teks Yunani asli selama Abad Pertengahan. Risalah dan tafsirnya pun memengaruhi banyak filsuf terkemuka, seperti Avicenna dan Maimonides.
Al-Farabi mengembangkan sistem filsafat yang bersifat sintetis dan orisinal, yang menggabungkan unsur-unsur dari Aristotelianisme, Neoplatonisme, dan Islam. Ia menulis karya yang beragam, mulai dari epistemologi, metafisika, logika, matematika, sains, ilmu politik, tata bahasa, dan musik. Namun, minat Al-Farabi yang terbesar adalah soal pendidikan. Karyanya yang berjudul Ihsa Al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu) merupakan pemikirannya yang paling banyak dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa asing.
Salah satu tema utama dalam pemikiran Al-Farabi adalah masalah tatanan negara yang ideal. Ia menganggap filsafat sebagai ilmu tertinggi yang dapat membimbing manusia menuju kebahagiaan. Ia juga menganggap akal sebagai sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada wahyu. Agama, menurutnya, adalah bentuk simbolis dari kebenaran yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu memahaminya secara rasional.
Al-Farabi menggambarkan negara ideal sebagai negara yang dipimpin oleh seorang filsuf yang berkarakter nabi, yaitu orang yang memiliki kemampuan fisik, jiwa, rasional, dan spiritual. Ia menyebut negara ideal ini sebagai Al-Madinah Al-Fadilah (Negara Paripurna) yang dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan sempurna. Ia juga mengkritik berbagai bentuk negara yang tidak ideal, seperti negara bodoh, negara fasik, negara yang berubah-ubah, negara sesat, dan negara tirani.
Beberapa karya penting Al-Farabi antara lain:
- Kitab al-Musiqi al-Kabir (Buku Besar tentang Musik), yang membahas teori musik, alat musik, dan pengaruh musik terhadap jiwa manusia.
- Ara Ahl al-Madina al-Fadila (Prinsip Politik Madani), yang membahas konsep negara ideal dan kriteria pemimpinnya.
- Kitab Ihsa al-Ulum (Enumerasi Ilmu), yang membahas klasifikasi ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan filsafat.
- Risalah fi’l-Aql (Epistel tentang Akal), yang membahas sifat, fungsi, dan tingkatan akal manusia.
- Al-Jam’u bayna Ra’yi al-Hakimayn: Aflatun wa Aristu (Harmoni Antara Dua Filsuf: Plato dan Aristoteles), yang membahas persamaan dan perbedaan antara pemikiran Plato dan Aristoteles.
Pengaruh dan warisan
Al-Farabi dianggap sebagai bapak Neoplatonisme Islam dan pendiri filsafat politik Islam. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada dunia Islam, tetapi juga menyebar ke dunia Barat melalui terjemahan Latin. Beberapa tokoh yang terinspirasi oleh pemikiran Al-Farabi antara lain:
- Yahya bin Adi, Abu Sulaiman Sijistani, Abu Hasan al-Amiri, dan Abu Hayyan al-Tawhidi, yang merupakan murid-murid langsung atau tidak langsung dari Al-Farabi.
- Avicenna, Suhrawardi, dan Mulla Sadra, yang merupakan filsuf-filsuf Islam terkemuka yang mengembangkan sistem filsafat mereka berdasarkan Al-Farabi.
- Avempace, Ibn Tufail, dan Averroes, yang merupakan filsuf-filsuf Andalusia yang mengikuti jejak Al-Farabi dalam mengkaji filsafat Yunani.
- Maimonides, yang merupakan filsuf Yahudi terkemuka yang mengagumi Al-Farabi dan mengutip karyanya dalam buku The Guide for the Perplexed.
- Albertus Magnus, yang merupakan filsuf Kristen terkemuka yang mengenal Al-Farabi melalui terjemahan Latin dan mengutip karyanya dalam buku De Causis et Processu Universitatis.
- Leo Strauss, yang merupakan filsuf modern yang meneliti pemikiran Al-Farabi dan menganggapnya sebagai salah satu filsuf politik terbesar.

