Imam Al-Ghazali dan Kritiknya terhadap Filsafat

4 Menit

Imam Al-Ghazali, yang juga dikenal sebagai Hujjat al-Islam (Bukti Islam), adalah seorang filsuf, teolog, dan mistikus Islam yang berpengaruh. Ia dikenal karena kritiknya terhadap filsafat, khususnya filsafat Aristotelian dan Neoplatonis yang dipelopori oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam karyanya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (Inkohorensi Para Filsuf), Al-Ghazali menyerang beberapa doktrin utama filsafat, seperti doktrin emanasi dan konsep ketuhanan dan alam semesta.

Menurut Al-Ghazali, para filsuf telah melampaui batas akal manusia dan memasuki wilayah yang seharusnya menjadi domain wahyu dan iman. Ia berpendapat bahwa filsafat tidak dapat menjelaskan hal-hal yang bersifat metafisik dan transenden, seperti Tuhan, surga, neraka, dan kehidupan setelah mati.

Ibnu Rusyd dan Pembelaannya terhadap Filsafat

Ibnu Rusyd, yang juga dikenal sebagai Averroes di Barat, adalah seorang filsuf, hakim, dan dokter Andalusia yang hidup satu generasi setelah Al-Ghazali. Ia dikenal karena pembelaannya terhadap filsafat dan kritiknya terhadap Al-Ghazali.

Dalam karyanya yang berjudul “Tahafut al-Tahafut” (Inkohorensi Inkohorensi), Ibnu Rusyd menanggapi kritik Al-Ghazali terhadap filsafat. Ia berpendapat bahwa filsafat dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi dua cara berbeda untuk mencapai kebenaran yang sama.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam semesta mengandaikan adanya empat sebab, yaitu: fa’il (efesien), muddah (materi), shurah (bentuk), dan ghayah (tujuan). Keempat sebab tersebut bersifat dharuri (pasti) dalam membentuk dan melahirkan akibat.

Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd: Dua Pendekatan Berbeda dalam Mencari Kebenaran

Meskipun keduanya adalah tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd memiliki pendekatan yang berbeda dalam mencari kebenaran. Al-Ghazali, yang dikenal dengan pendekatan tasawufnya, menekankan pentingnya pengalaman spiritual dan intuitif dalam mencapai kebenaran. Ia berpendapat bahwa akal manusia memiliki batas dan tidak mampu memahami realitas metafisik, seperti Tuhan dan kehidupan setelah mati. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya tazkiyah (penyucian jiwa) dan ma’rifat (pengetahuan intuitif tentang Tuhan) dalam mencapai kebenaran.

Di sisi lain, Ibnu Rusyd, yang dikenal dengan pendekatan filsafatnya, menekankan pentingnya akal dan logika dalam mencari kebenaran. Ia berpendapat bahwa filsafat dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi dua cara berbeda untuk mencapai kebenaran yang sama. Menurutnya, jika ada kontradiksi antara filsafat dan agama, maka itu berarti ada kesalahan dalam interpretasi teks agama atau dalam pemahaman filsafat.

Pertentangan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd ini mencerminkan keragaman dan dinamika pemikiran dalam tradisi intelektual Islam. Meskipun keduanya sama-sama berusaha mencari kebenaran, mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang peran dan batas akal, serta hubungan antara filsafat dan agama. Perdebatan ini menunjukkan bahwa dalam tradisi intelektual Islam, ada ruang untuk berbagai pendekatan dan perspektif dalam mencari kebenaran.

Kesimpulan

Pertentangan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd merupakan salah satu perdebatan paling penting dalam sejarah pemikiran Islam. Meskipun keduanya sama-sama Muslim dan berusaha untuk mencari kebenaran, mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang peran dan batas akal, serta hubungan antara filsafat dan agama. Perdebatan ini mencerminkan keragaman dan dinamika pemikiran dalam tradisi intelektual Islam, dan masih relevan hingga hari ini.

Share This Article