Imam Al-Ghazali, Filsuf  Islam yang Mengguncang Dunia Filsafat

4 Menit
Al-Kindi: Sang Filsuf Arab yang Menghidupkan Kembali Warisan Yunani

Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M atau 450 H di kota Tus, Iran, dari keluarga miskin yang bekerja sebagai pemintal wol. Sejak kecil, ia menunjukkan minat dan bakat yang tinggi dalam menuntut ilmu agama. Ia belajar di kota asalnya, kemudian di Jorjan dan Nishapur, di bawah bimbingan ulama-ulama terkemuka seperti al-Juwayni, yang dikenal sebagai imam al-Haramayn.

Karier Al-Ghazali berkembang pesat setelah ia mengesankan Nizam al-Mulk, perdana menteri Dinasti Seljuk, yang mengangkatnya sebagai guru besar di Madrasah Nizamiyah, sebuah perguruan tinggi terkenal di Baghdad. Di sana, ia mengajar lebih dari 300 mahasiswa, dan juga mengkritik dan menguasai filsafat Neoplatonis yang dipelopori oleh al-Farabi dan Ibnu Sina.

Namun, di puncak kejayaannya, Al-Ghazali mengalami krisis spiritual yang membuatnya tidak mampu berbicara dan mengajar. Ia merasa bahwa ilmu yang ia miliki tidak memberinya kepastian dan ketenangan hati. Ia pun meninggalkan Baghdad pada tahun 1095 M, dengan alasan ingin menunaikan ibadah haji. Ia menjual hartanya, dan memilih hidup sebagai seorang sufi miskin yang berkelana ke berbagai tempat, seperti Damaskus, Yerusalem, Mekkah, dan Madinah.

Dalam perjalanan sufinya, Al-Ghazali menulis karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu Agama), yang terdiri dari empat bagian, yaitu tindakan ibadah, norma kehidupan sehari-hari, jalan menuju kebinasaan, dan jalan menuju keselamatan. Dalam karya ini, ia menyatukan teologi Sunni ortodoks dan mistisisme Sufi dalam sebuah panduan yang komprehensif dan bermanfaat bagi setiap aspek kehidupan dan kematian seorang Muslim. Karya ini sangat dihargai oleh para ulama Islam, bahkan ada yang mengatakan bahwa jika semua kitab Islam hilang, cukuplah Ihya untuk menggantikannya.

Selain Ihya, Al-Ghazali juga menulis banyak karya lain, seperti Tahafut al-Falasifah (Inkohorensi Para Filsuf), yang menyerang filsafat Aristoteles yang diadopsi oleh al-Farabi dan Ibnu Sina, dan menegaskan bahwa alam semesta itu berawal dan diciptakan oleh Allah. Karya ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusyd, yang membela filsafat Aristoteles dalam Tahafut al-Tahafut (Inkohorensi Inkohorensi). Al-Ghazali juga menulis tentang akidah, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam, logika, etika, dan pendidikan.

Pada tahun 1106 M, Al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizamiyah di Nishapur, setelah didesak oleh beberapa temannya yang menganggapnya sebagai mujaddid (pembaharu) Islam pada abad ke-5 H. Ia mengajar di sana sampai tahun 1111 M, ketika ia meninggal dunia di kota kelahirannya, Tus. Ia dimakamkan di sana, dan makamnya menjadi tempat ziarah bagi banyak orang.

Al-Ghazali dianggap sebagai salah satu tokoh Islam terbesar sepanjang sejarah. Ia diberi gelar Hujjat al-Islam (Bukti Islam), karena kontribusinya yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, pemikiran, dan spiritualitas. Ia juga mempengaruhi banyak tokoh-tokoh Islam dan non-Islam sesudahnya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Thomas Aquinas, dan banyak lagi.

Beberapa karyanya adalah Karya Tasawuf: Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal, Kimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) dan Misykah al-Anwar (The Niche of Lights) | Karya Filsafat : Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusyd. | Karya Logika : Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge), Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance) dan Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)

Share This Article