Malaysia Tak Gentar dengan Keputusan WTO Soal Kelapa Sawit
Kelapa sawit, tanaman yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan petani di Indonesia dan Malaysia, kini tengah menghadapi tantangan besar dari Uni Eropa. Pasalnya, Uni Eropa telah menetapkan bahwa biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak dapat dianggap sebagai bahan bakar nabati terbarukan, karena dianggap berkontribusi terhadap deforestasi dan perubahan iklim. Keputusan ini tentu saja berdampak negatif bagi industri kelapa sawit di kedua negara, yang merupakan produsen dan eksportir terbesar di dunia.
Namun, Malaysia tidak tinggal diam menghadapi kebijakan diskriminatif ini. Negara jiran ini telah mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2021, dengan harapan dapat membatalkan atau merevisi peraturan Uni Eropa tersebut. Sayangnya, gugatan Malaysia ditolak oleh WTO pada Maret 2024, dengan alasan bahwa Uni Eropa memiliki hak untuk menetapkan standar lingkungan bagi produk yang masuk ke pasar mereka.
Lantas, bagaimana respons Malaysia usai keputusan WTO ini? Apakah mereka akan menyerah dan mengikuti aturan main Uni Eropa, ataukah mereka akan terus berjuang untuk membela kepentingan industri kelapa sawit mereka? Artikel ini akan mengulas lebih lanjut tentang latar belakang, alasan, dan dampak dari perselisihan perdagangan antara Malaysia dan Uni Eropa soal kelapa sawit, serta langkah-langkah yang diambil oleh Malaysia untuk mengatasi masalah ini.
Latar Belakang Perselisihan
Perselisihan perdagangan antara Malaysia dan Uni Eropa soal kelapa sawit berawal dari kebijakan Uni Eropa yang dikenal sebagai European Union Renewable Energy Directive II (EU RED II). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan di sektor transportasi hingga 14% pada 2030, sebagai bagian dari upaya Uni Eropa untuk mencapai netralitas karbon pada 2050.
Namun, dalam kebijakan ini, Uni Eropa juga menetapkan kriteria keberlanjutan bagi bahan bakar nabati yang dapat dihitung sebagai energi terbarukan. Salah satu kriteria tersebut adalah bahwa bahan bakar nabati tidak boleh berasal dari tanaman yang menyebabkan atau berisiko tinggi menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (ILUC). ILUC adalah fenomena di mana tanaman yang digunakan untuk bahan bakar nabati menggantikan tanaman pangan atau hutan, sehingga mendorong perluasan lahan pertanian ke daerah baru yang sebelumnya tidak digarap.
Uni Eropa mengklaim bahwa kelapa sawit memiliki risiko ILUC yang tinggi, karena dianggap sebagai penyebab utama deforestasi dan kerusakan lingkungan di negara-negara produsen, seperti Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, Uni Eropa menetapkan bahwa biodiesel dari minyak kelapa sawit harus dihapuskan sebagai bahan bakar terbarukan pada 2030. Sementara itu, tanaman yang ditanam di wilayah Uni Eropa, seperti bunga matahari atau rapeseed, tidak perlu dihentikan.
Keputusan Uni Eropa ini tentu saja menimbulkan protes dari Indonesia dan Malaysia, yang merasa bahwa kebijakan tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertujuan untuk melindungi kepentingan produsen bahan bakar nabati lokal. Kedua negara ini menyatakan bahwa kelapa sawit adalah tanaman yang efisien, produktif, dan ramah lingkungan, asalkan dikelola dengan baik dan sesuai dengan standar yang berlaku. Kedua negara ini juga menunjukkan bahwa mereka telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengurangi deforestasi, seperti moratorium izin baru, restorasi lahan, sertifikasi keberlanjutan, dan penegakan hukum.
Alasan Gugatan Malaysia ke WTO
Untuk membela kepentingan industri kelapa sawit mereka, Indonesia dan Malaysia telah mengajukan gugatan ke WTO, sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan perdagangan antar negara anggotanya. Gugatan ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:
- Uni Eropa telah melanggar aturan WTO tentang perlakuan nasional dan perlakuan yang paling menguntungkan, yang mengharuskan negara anggota WTO untuk memberikan perlakuan yang sama kepada produk impor dan produk domestik, serta tidak membeda-bedakan produk dari negara anggota WTO lainnya.
- Uni Eropa telah melanggar aturan WTO tentang hambatan teknis perdagangan (TBT), yang mengatur tentang standar teknis, regulasi, dan sertifikasi yang diterapkan oleh negara anggota WTO terhadap produk impor. Uni Eropa dianggap telah menerapkan standar yang tidak transparan, tidak konsisten, tidak proporsional, dan tidak berdasarkan bukti ilmiah terkait dengan ILUC dan dampak lingkungan dari kelapa sawit.
- Uni Eropa telah melanggar aturan WTO tentang subsidi dan tindakan pemulihan, yang mengatur tentang bantuan finansial atau non-finansial yang diberikan oleh negara anggota WTO kepada produsen atau eksportir lokal, yang dapat mempengaruhi kondisi persaingan perdagangan internasional. Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi yang tidak adil kepada produsen bahan bakar nabati lokal, yang dapat merugikan produsen bahan bakar nabati impor, khususnya dari kelapa sawit.
Dampak Keputusan WTO
Setelah mendengar argumen dari kedua belah pihak, panel WTO yang terdiri dari tiga orang ahli mengeluarkan laporan putusan mereka pada Maret 2024. Dalam laporan tersebut, panel WTO menolak sebagian besar klaim substantif yang diajukan oleh Malaysia, dan menyatakan bahwa Uni Eropa memiliki hak untuk menetapkan kriteria keberlanjutan bagi bahan bakar nabati, termasuk mengenai ILUC dan dampak lingkungan dari kelapa sawit. Panel WTO juga menemukan bahwa Uni Eropa tidak melanggar aturan WTO tentang perlakuan nasional, perlakuan yang paling menguntungkan, dan subsidi.
Namun, panel WTO juga menemukan beberapa kesalahan dalam cara Uni Eropa mengimplementasikan kebijakan tersebut, seperti kurangnya transparansi, konsistensi, dan konsultasi dengan negara-negara produsen kelapa sawit. Panel WTO juga menyarankan agar Uni Eropa melakukan penyesuaian terhadap peraturan tersebut, agar sesuai dengan temuan panel WTO dan tidak menimbulkan hambatan perdagangan yang tidak perlu.
Keputusan WTO ini tentu saja menjadi pukulan bagi Malaysia, yang berharap dapat membatalkan atau merevisi kebijakan Uni Eropa tersebut. Namun, keputusan ini juga memberikan sedikit harapan bagi Malaysia, karena Uni Eropa masih harus melakukan perubahan-perubahan dalam peraturan tersebut, yang mungkin dapat memberikan ruang bagi kelapa sawit untuk tetap diakui sebagai bahan bakar terbarukan.
Langkah-Langkah Malaysia
Menanggapi keputusan WTO ini, Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani mengatakan bahwa pemerintah Malaysia akan memantau setiap perubahan pada peraturan Uni Eropa untuk menyesuaikannya dengan temuan WTO dan melakukan proses kepatuhan jika diperlukan. Johari juga mengatakan bahwa keputusan WTO ini menunjukkan bahwa klaim diskriminasi Malaysia memang benar adanya, dan bahwa pemerintah akan terus membela kepentingan para pelaku industri bahan bakar nabati kelapa sawit dari berbagai hambatan perdagangan.
Selain itu, Malaysia juga melakukan langkah-langkah lain untuk mengatasi masalah ini, antara lain:
- Meningkatkan kerjasama dengan Indonesia, sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, untuk bersama-sama mengadvokasi dan melindungi industri kelapa sawit dari kampanye negatif dan diskriminasi. Kedua negara ini telah membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), yang bertujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan kelapa sawit sebagai komoditas yang berkelanjutan, bermanfaat, dan berdaya saing.
- Meningkatkan kualitas dan produktivitas kelapa sawit, dengan menerapkan praktik-praktik pertanian yang baik, mengadopsi teknologi yang canggih, dan meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan para petani. Malaysia juga telah menerbitkan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), yang merupakan standar keberlanjutan nasional yang wajib bagi seluruh pelaku industri kelapa sawit di Malaysia.
- Meningkatkan diversifikasi pasar dan produk kelapa sawit, dengan mencari pasar-pasar baru yang potensial, seperti Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, serta mengembangkan produk-produk baru yang bernilai tambah, seperti oleokimia, kosmetik, farmasi, dan pangan. Malaysia juga telah meluncurkan Love My Palm Oil, yang merupakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kelapa sawit sebagai produk yang sehat, aman, dan ramah lingkungan.