Kementerian Perdagangan RI Tiru Vietnam Demi Untung Ekspor dari UE

By elda
4 Menit

Tiru Vietnam, Indonesia Bidik Untung Jumbo dari Uni Eropa

Anda mungkin pernah mendengar ungkapan “tiru adat orang baik, jangan tiru adat orang jahat”. Ungkapan ini ternyata berlaku juga dalam dunia perdagangan internasional. Indonesia, misalnya, sedang berusaha meniru adat Vietnam dalam menjalin hubungan dagang dengan Uni Eropa, salah satu blok ekonomi terbesar di dunia.

Vietnam, yang merupakan tetangga dekat Indonesia di Asia Tenggara, telah berhasil mengimplementasikan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa sejak Agustus 2020. Perjanjian ini disebut sebagai Vietnam-EU Free Trade Agreement (EVFTA) dan memberikan akses pasar yang lebih luas bagi produk-produk Vietnam ke pasar Eropa.

Menurut data Kementerian Perdagangan Vietnam, pada tahun 2020, ekspor Vietnam ke Uni Eropa mencapai US$ 34,8 miliar, naik 4,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, impor Vietnam dari Uni Eropa turun 4,1% menjadi US$ 14,5 miliar, sehingga surplus perdagangan Vietnam mencapai US$ 20,3 miliar.

Salah satu produk unggulan Vietnam yang mendapat manfaat dari EVFTA adalah tekstil dan pakaian jadi. Produk ini mendapat keringanan bea masuk hingga 0% dalam jangka waktu tujuh tahun. Selain itu, Vietnam juga mengekspor banyak produk lain ke Uni Eropa, seperti sepatu, kopi, beras, perabotan, dan barang elektronik.

Melihat kesuksesan Vietnam, Indonesia pun tidak mau ketinggalan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia menargetkan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa bisa rampung tahun ini. Perjanjian ini disebut sebagai Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan diharapkan bisa memberikan keuntungan yang lebih besar pada sisi ekspor Indonesia.

Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, Kasan, mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang lebih besar daripada Vietnam dalam berdagang dengan Uni Eropa. “Tentu kita Indonesia dengan ekonomi lebih besar daripada Vietnam dan kita sudah mempertimbangkan sudah mengkalkulasi bahwa akses pasar kita ke Uni Eropa manakala nanti sudah diimplementasikan, kita berhitung akan mendapatkan benefit yang jauh lebih besar,” ujar Kasan dalam Gambir Trade Talk ke-13, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (6/3/2024).

Namun, meniru adat Vietnam tidak semudah membalik telapak tangan. Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan dan hambatan dalam perundingan IEU-CEPA. Salah satunya adalah isu lingkungan, khususnya terkait dengan industri kelapa sawit Indonesia yang kerap dituduh sebagai penyebab deforestasi dan perubahan iklim.

Uni Eropa sendiri telah mengeluarkan regulasi yang mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati berisiko tinggi dan berencana untuk menghapuskan penggunaannya sebagai bahan baku biodiesel pada tahun 2030. Hal ini tentu merugikan Indonesia, yang merupakan produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia.

Indonesia pun tidak tinggal diam. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membela industri kelapa sawit, seperti melakukan diplomasi, melakukan sertifikasi berkelanjutan, hingga menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain itu, Indonesia juga berusaha meningkatkan nilai tambah kelapa sawit dengan mengembangkan produk turunan, seperti oleokimia, kosmetik, dan farmasi.

Selain isu lingkungan, Indonesia juga harus bersaing dengan negara-negara lain yang juga ingin menjalin perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa, seperti India, Australia, dan Selandia Baru. Oleh karena itu, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan konsistensi dalam perundingan IEU-CEPA agar bisa segera mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Meniru adat Vietnam dalam perdagangan dengan Uni Eropa memang bukan perkara mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil. Dengan strategi yang tepat, kerja sama yang solid, dan semangat yang tinggi, Indonesia bisa mewujudkan mimpi untuk mendapatkan untung jumbo dari pasar Eropa.

Seperti kata pepatah, “tiru adat orang baik, jangan tiru adat orang jahat”. Mari kita tiru adat Vietnam yang baik dalam berdagang dengan Uni Eropa, dan jangan tiru adat orang jahat yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. Karena dengan begitu, kita akan mendapatkan manfaat yang berlipat ganda, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan lingkungan.

Share This Article