Prabowo Subianto: Dari Panglima Perang ke Menteri Pertahanan

By suryoadiprojo 6 Menit

Prabowo Subianto adalah salah satu tokoh militer dan politik yang paling dikenal di Indonesia. Ia pernah menjadi panglima komando pasukan khusus, calon presiden dua kali, dan kini menjabat sebagai menteri pertahanan. Namun, siapa sebenarnya sosok di balik nama besar itu? Bagaimana latar belakang keluarga, pendidikan, karir, dan perjuangannya?

Keturunan Bangsawan dan Pendidikan di Luar Negeri

Prabowo lahir pada 17 Oktober 1951 di Jakarta, sebagai anak ketiga dan putra pertama dari pasangan Soemitro Djojohadikusumo dan Dora Marie Sigar. Ayahnya adalah seorang ekonom dan politisi yang pernah menjabat sebagai menteri di era Soekarno dan Soeharto. Ibunya adalah seorang wanita berdarah Minahasa yang beragama Kristen Protestan.

Prabowo berasal dari keluarga yang berakar di kalangan bangsawan Jawa. Ia adalah cucu dari Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia dan anggota BPUPKI. Ia juga merupakan keturunan ke-8 dari Sultan Agung Mataram dan Sultan Hamengkubuwono I Yogyakarta. Nama Prabowo sendiri diambil dari pamannya, Kapten Soebianto Djojohadikusumo, yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Tangerang pada 1964.

Masa kecil Prabowo banyak dihabiskan di luar negeri, terutama setelah ayahnya terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera Barat yang menentang pemerintahan Soekarno. Prabowo menyelesaikan sekolah menengahnya di Malaysia, Swiss, dan Inggris. Setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, keluarganya kembali ke Indonesia. Prabowo kemudian masuk ke Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, dan lulus pada 1974.

Karir Militer yang Gemilang dan Kontroversial

Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer, Prabowo ditugaskan ke Kopassus, pasukan khusus yang saat itu dipimpin oleh Benny Moerdani. Prabowo menunjukkan kemampuan dan prestasinya dalam berbagai operasi militer, baik di dalam maupun luar negeri. Ia pernah bertugas di Timor Timur, Papua, Aceh, dan berbagai daerah konflik lainnya. Ia juga pernah menjadi komandan Detasemen 81, unit antiteror yang dibentuk setelah pembajakan pesawat Garuda di Bangkok pada 1981.

Pada 1983, Prabowo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi, putri dari Presiden Soeharto. Pernikahan ini membuka jalan bagi Prabowo untuk mendapatkan posisi-posisi strategis di militer. Ia menjadi komandan Grup 3 Kopassus pada 1985, dan naik pangkat menjadi kolonel pada 1989. Pada 1995, ia diangkat menjadi panglima Kopassus, menggantikan Luhut Pandjaitan. Pada 1997, ia menjadi panglima Kostrad, menggantikan Wiranto.

Karir militer Prabowo yang gemilang tidak lepas dari kontroversi. Ia dituduh terlibat dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia, seperti penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998, pembantaian di Timor Timur pada 1983 dan 1999, dan pemberontakan di Papua pada 1996. Ia juga dituduh berusaha melakukan kudeta terhadap Soeharto pada saat krisis moneter dan politik pada 1998. Prabowo membantah semua tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa ia hanya menjalankan perintah dari atas.

Perjalanan Politik yang Penuh Tantangan dan Dinamika

Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, Prabowo diminta untuk pensiun dini dari militer oleh Presiden BJ Habibie. Prabowo sempat berada di pengasingan di Yordania, tempat ia berteman dengan Raja Abdullah II. Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai karir politiknya. Ia bergabung dengan Partai Golkar, partai yang didirikan oleh Soeharto dan mendominasi pemerintahan Orde Baru.

Pada 2004, Prabowo mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Wiranto, mantan atasannya di militer, dalam pemilu presiden. Namun, pasangan ini kalah di putaran pertama dengan perolehan suara hanya 22,15 persen. Pada 2008, Prabowo keluar dari Golkar dan mendirikan partai baru, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia menjadi ketua umum dan pemimpin tertinggi partai tersebut.

Pada 2009, Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden dengan didukung oleh Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia menggandeng Jusuf Kalla, mantan wakil presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai wakilnya. Namun, pasangan ini kalah di putaran pertama dengan perolehan suara hanya 26,79 persen. Pada 2014, Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai presiden dengan didukung oleh koalisi partai yang disebut sebagai Koalisi Merah Putih. Ia menggandeng Hatta Rajasa, mantan menteri koordinator bidang perekonomian, sebagai wakilnya. Pasangan ini berhasil masuk ke putaran kedua, tetapi kalah tipis dari pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan perolehan suara 46,85 persen.

Pada 2019, Prabowo mencoba untuk ketiga kalinya mencalonkan diri sebagai presiden dengan didukung oleh koalisi partai yang disebut sebagai Koalisi Indonesia Adil Makmur. Ia menggandeng Sandiaga Uno, mantan wakil gubernur DKI Jakarta, sebagai wakilnya. Pasangan ini kembali kalah dari pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dengan perolehan suara 44,5 persen. Prabowo sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak.

Setelah pemilu 2019, Prabowo mengubah sikapnya dari menjadi oposisi menjadi pendukung pemerintah. Ia menerima tawaran dari Joko Widodo untuk menjadi menteri pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju. Ia juga memimpin partainya, Gerindra, untuk bergabung dengan koalisi pemerintah. Langkah ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama dari pendukungnya sendiri.

Sosok Prabowo Subianto di Mata Publik

Prabowo Subianto adalah sosok yang memiliki banyak sisi dan dimensi. Ia memiliki penggemar setia yang mengagumi kepemimpinan, keberanian, dan nasionalismenya. Ia juga memiliki kritikus tajam yang mencemooh ambisi, arogansi, dan pelanggaran hak asasi manusianya. Ia adalah seorang prajurit yang menjadi politisi, seorang bangsawan yang menjadi rakyat, seorang oposan yang menjadi pendukung.

Bagaimana pun, Prabowo Subianto tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh dan berjasa bagi Indonesia. Ia telah berkontribusi dalam bidang militer, bisnis, dan politik. Ia juga telah berjuang untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat. Ia adalah Prabowo Subianto, dari panglima perang ke menteri pertahanan.

Share This Article